ImageTiba-tiba teringat dengan momen di sebuah ruangan 2 x 3 meter di Galuh 2 No. 4 pada bulan Desember 2010. Saat itu, aku sedang berhadapan dengan dua orang bapak-bapak yang menjadi penanya dalam “job” interviewku. Segala persiapan sudah kulakukan untuk seleksi tahap akhir ini; mulai dari pengetahuan seputar organisasi yang kulamar ini, motivasi bergabung, dan semacamnya, sudah kuhapal di luar kepala. Namun apa, ternyata ada sebuah pertanyaan yang keluar dari salah satu bapak-bapak itu, yang sungguh tak disangka.

“Apakah kamu punya pasangan (pacar)?”

Kujawab dengan setengah kaget tapi tetap mantab, “Tidak, Pak. Saya maunya langsung cari suami”, kemudian aku langsung tersipu :”).

“Kalau begitu, bagaimana kriteria calon suamimu?” lanjutnya.

Dalam hati sebenarnya aku terbengong-bengong. Apa hubungannya job interview dengan kriteria suami. Eh tapi tak boleh terlalu lama diam berpikir.

Langsung kujawab, “Smart, sholeh dan……. (sambil mikir, then spontan kusebut) suka jalan-jalan = 3S”, kemudian aku nyengir kuda (*big grin :D)

Kemudian bapak itu bertanya lagi, “Nomor 1 smart, kedua sholeh, ketiga suka jalan2, kemudian apa lagi? bagaimana dengan tampilan fisik, tinggi, atau putih, begitu?”

Oh iya, gak kepikiran. Terus kukatakan pada beliau, “oh, kalau fisik itu prioritas belakangan pak. Setelah yang tiga pertama terpenuhi”, kujawab sambil menahan malu.

Sang bapak tersebut, kemudian tersenyum lebar, mungkin berpikir bahwa sang interviewee ini sungguh lugu :p

***

Preambule di atas terpicu dari gambar yang diposting oleh seorang kawan di facebook. Gambarnya yang kumunculkan di atas itu. hehe… Karenanya, aku teringat kembali momen paling berkesan dari job interviewku itu, karena memang pertanyaan beliau sungguh tak biasa. Namun, setelah dipikir-pikir panjang, jawabanku itu bukanlah murni spontan 100%.

Khususnya untuk kriteria yang “suka jalan-jalan”, ini sudah sewajarnya kusebut mengingat “cap” yang diberikan padaku oleh teman-teman sebagai “tukang jalan-jalan”. Alangkah kasihannya suamiku kelak, kalau sang istri yang memang agak “freak” dengan jalan-jalan itu kebiasaannya bertolak belakang. Maka, untuk yang ini, tak bisa diganggu gugat :p! (stubborn en maksa amat yak ^^”)

Hm… kalau dipikir-pikir lagi, sepertinya sungguh menarik sekaligus menantang apabila memiliki pasangan (yang halal = suami/istri) yang punya kesamaan dalam hal jalan-jalan ini. Terinspirasi dari mbak Imazahra (couple traveler – Founder Muslimah Backpacker) dan juga mbak Irawati sekeluarga (family traveler), suatu saat nanti, jika Allah mengizinkan, ingin sekali punya suami dan keluarga seperti mereka (*doyan jalan-jalan).

Eh tapinya, ini bukan sembarang jalan-jalan lho! Dari tulisan pak Heru Susetyo dan mbak Hanum Salsabiela Rais, bahwasanya hakikat suatu perjalanan bukanlah sekedar menikmati keindahan dari satu tempat ke tempat lain, atau sekadar mengagumi dan menemukan tempat-tempat unik di suatu daerah dengan biaya semurah-murahnya. Bukan pula mengabadikannya dengan ratusan jepretan narsis dan menunjukkannya kepada dunia via jejaring sosial. Menurut beliau berdua, dan juga saya, makna sebuah perjalanan harus lebih besar daripada itu. Bagaimana perjalanan tersebut harus bisa membawa pelakunya naik ke derajat yang lebih tinggi, memperluas wawasan sekaligus memperdalam keimanan. Sebagaimana yang dicontohkan oleh perjalanan para umat Islam terdahulu yang merupakan traveler tangguh.

Terlebih, pengalaman akademik selama di bumi Formosa ini, mempertemukanku dengan dunia baru bernama Antropologi dan Etnologi yang sungguh penuh warna. Jadi semakin menguatkan niat untuk melihat keragaman ciptaan-Nya. Bukankah dalam Alqur’an juga disebutkan bahwa Allah menciptakan manusia berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar manusia bisa saling mengenal, berta’aruf, saling belajar dari bangsa-bangsa lain untuk menaikkan derajat kemuliaan di sisi Allah? [Hanum dalam prolog buku “99 Cahaya di Langit Eropa”, p. 6-7].

Karenanya, semoga Allah perkenankan harapanku ini, untuk bertemu dengannya, teman sejati untuk traveling dan menua bersama (*plus teman di jannah-Nya nanti). Bersamanya, semoga bisa menemukan serpihan hikmah yang terserak di bumi Allah yang sungguh luas ini. aamiin…. :”). “Keep learning, keep traveling. Life curious!”

Image

***

Di suatu hari bulan Ramadhan 2012

Saat melakukan buka puasa bersama, Alhamdulillah aku diperkenankan kembali bertemu dengan dua bapak-bapak itu. Sambil menyampaikan pamit untuk menuntut ilmu di bumi Formosa, kepada sang Bapak, kutanya apa maksud dibalik pertanyaan beliau. Dan beliau sambil bercanda kira-kira begini jawabannya:

“Yaaa, kan menarik memberikan pertanyaan yang tidak terduga. Saya ingin lihat respon spontannya…”, sambil tersenyum simpul.

Wah, Pak. Ternyata misteri kebengongan saya selama hampir 2 tahun itu ternyata sangat simple sekali jawabannya XD.

Image
Ini dia sosok 2 bapak-bapak itu. Alhamdulillah, terima kasih banyak atas kepercayaan yang diberikan pak. Sungguh luar biasa pengalaman 1 tahun 8 bulan di Galuh 2 No.4
Sunu Family Avatar

Published by

Categories:

5 responses to “[Share] When traveler become travelers”

  1. pemikirulung Avatar

    aku senyum-senyum nih bacanya :p

    1. Chikupunya Avatar

      senyum2 knapa nih, neng Ludi :D?

      1. pemikirulung Avatar

        hihihi..ngebayangin

        tapi kayanya ga selalu berlaku kebalikan mba..pasangan kita belum tentu teman perjalanan yang cocok

  2. catatannaylaa Avatar

    Menginspirasi skali mbaknyoo ^^b

    1. Chikupunya Avatar

      ahahay~ yg sebelah mananya yg menginspirasi, jeng ;D?

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.